Selera makanku mendadak punah. Hanya ada rasa kesal dan jengkel yang
memenuhi kepala ini. Duh, betapa tidak gemas, dalam keadaan lapar
memuncak seperti ini, makanan yang tersedia tak ada yang memuaskan
lidah. Sayur sop rasanya manis bak kolak pisang, sedang perkedelnya asin
tak ketulungan.
"Ummi... Ummi, kapan kamu dapat memasak
dengan benar? Selalu saja, kalau tak keasinan, kemanisan, kalau tak
keaseman, ya kepedesan!" Ya, aku tak bisa menahan emosi untuk tak
menggerutu.
"Sabar Bi, Rasulullah juga sabar terhadap masakan Aisyah dan Khodijah. Katanya mau kayak Rasul? Ucap isteriku kalem.
"Iya.
Tapi Abi kan manusia biasa. Abi belum bisa sabar seperti Rasul. Abi tak
tahan kalau makan terus menerus seperti ini!" Jawabku masih dengan nada
tinggi.
Mendengar ucapanku yang bernada emosi, kulihat
isteriku menundukkan kepala dalam-dalam. Kalau sudah begitu, aku yakin
pasti air matanya merebak.
*******
Sepekan
sudah aku ke luar kota. Dan tentu, ketika pulang benak ini penuh dengan
jumput-jumput harapan untuk menemukan baiti jannati di rumahku. Namun
apa yang terjadi? Ternyata kenyataan tak sesuai dengan apa yang
kuimpikan. Sesampainya di rumah, kepalaku malah mumet tujuh keliling.
Bayangkan saja, rumah kontrakanku tak ubahnya laksana kapal pecah.
Pakaian bersih yang belum disetrika menggunung di sana sini.
Piring-piring kotor berpesta-pora di dapur, dan cucian, wouw!
berember-ember. Ditambah lagi aroma bau busuknya yang menyengat, karena
berhari-hari direndam dengan deterjen tapi tak juga dicuci. Melihat
keadaan seperti ini aku cuma bisa beristigfar sambil mengurut dada.
"Ummi...
Ummi, bagaimana Abi tak selalu kesal kalau keadaan terus menerus
begini?" ucapku sambil menggeleng-gelengkan kepala. "Ummi... isteri
sholihah itu tak hanya pandai ngisi pengajian, tapi dia juga harus
pandai dalam mengatur tetek bengek urusan rumah tangga. Harus bisa
masak, nyetrika, nyuci, jahit baju, beresin rumah?"
Belum
sempat kata-kataku habis sudah terdengar ledakan tangis isteriku yang
kelihatan begitu pilu. "Ah...wanita gampang sekali untuk menangis,"
batinku. "Sudah diam Mi, tak boleh cengeng. Katanya mau jadi isteri
shalihah? Isteri shalihah itu tidak cengeng," bujukku hati-hati setelah
melihat air matanya menganak sungai.
"Gimana nggak nangis!
Baru juga pulang sudah ngomel-ngomel terus. Rumah ini berantakan karena
memang Ummi tak bisa mengerjakan apa-apa. Jangankan untuk kerja, jalan
saja susah. Ummi kan muntah-muntah terus, ini badan rasanya tak
bertenaga sama sekali," ucap isteriku diselingi isak tangis. "Abi nggak
ngerasain sih bagaimana maboknya orang yang hamil muda..." Ucap isteriku
lagi, sementara air matanya kulihat tetap merebak.
Hamil muda?!?! Subhanallah … Alhamdulillah…
********
Bi...,
siang nanti antar Ummi ngaji ya...?" pinta isteriku. "Aduh, Mi... Abi
kan sibuk sekali hari ini. Berangkat sendiri saja ya?" ucapku.
"Ya sudah, kalau Abi sibuk, Ummi naik bis umum saja, mudah-mudahan nggak pingsan di jalan," jawab isteriku.
"Lho, kok bilang gitu...?" selaku.
"Iya,
dalam kondisi muntah-muntah seperti ini kepala Ummi gampang pusing
kalau mencium bau bensin. Apalagi ditambah berdesak-desakan dalam dengan
suasana panas menyengat. Tapi mudah-mudahan sih nggak kenapa-kenapa,"
ucap isteriku lagi.
"Ya sudah, kalau begitu naik bajaj saja," jawabku ringan.
*******
Pertemuan
dengan mitra usahaku hari ini ternyata diundur pekan depan. Kesempatan
waktu luang ini kugunakan untuk menjemput isteriku. Entah kenapa hati
ini tiba-tiba saja menjadi rindu padanya. Motorku sudah sampai di tempat
isteriku mengaji. Di depan pintu kulihat masih banyak sepatu berjajar,
ini pertanda acara belum selesai. Kuperhatikan sepatu yang berjumlah
delapan pasang itu satu persatu. Ah, semuanya indah-indah dan kelihatan
harganya begitu mahal. "Wanita, memang suka yang indah-indah, sampai
bentuk sepatu pun lucu-lucu," aku membathin.
Mataku
tiba-tiba terantuk pandang pada sebuah sendal jepit yang diapit sepasang
sepatu indah. Kuperhatikan ada inisial huruf M tertulis di sandal jepit
itu. Dug! Hati ini menjadi luruh. "Oh....bukankah ini sandal jepit
isteriku?" tanya hatiku. Lalu segera kuambil sandal jepit kumal yang
tertindih sepatu indah itu. Tes! Air mataku jatuh tanpa terasa. Perih
nian rasanya hati ini, kenapa baru sekarang sadar bahwa aku tak pernah
memperhatikan isteriku. Sampai-sampai kemana-mana ia pergi harus
bersandal jepit kumal. Sementara teman-temannnya bersepatu bagus.
"Maafkan aku Maryam," pinta hatiku.
"Krek...,"
suara pintu terdengar dibuka. Aku terlonjak, lantas menyelinap ke
tembok samping. Kulihat dua ukhti berjalan melintas sambil menggendong
bocah mungil yang berjilbab indah dan cerah, secerah warna baju dan
jilbab umminya. Beberapa menit setelah kepergian dua ukhti itu, kembali
melintas ukhti-ukhti yang lain. Namun, belum juga kutemukan Maryamku.
Aku menghitung sudah delapan orang keluar dari rumah itu, tapi isteriku
belum juga keluar. Penantianku berakhir ketika sesosok tubuh berabaya
gelap dan berjilbab hitam melintas. "Ini dia mujahidah (*) ku!" pekik
hatiku. Ia beda dengan yang lain, ia begitu bersahaja. Kalau yang lain
memakai baju berbunga cerah indah, ia hanya memakai baju warna gelap
yang sudah lusuh pula warnanya. Diam-diam hatiku kembali dirayapi
perasaan berdosa karena selama ini kurang memperhatikan isteri.
Ya,
aku baru sadar, bahwa semenjak menikah belum pernah membelikan sepotong
baju pun untuknya. Aku terlalu sibuk memperhatikan
kekurangan-kekurangan isteriku, padahal di balik semua itu begitu banyak
kelebihanmu, wahai Maryamku. Aku benar-benar menjadi malu pada Allah
dan Rasul-Nya. Selama ini aku terlalu sibuk mengurus orang lain, sedang
isteriku tak pernah kuurusi. Padahal Rasul telah berkata: "Yang terbaik
di antara kamu adalah yang paling baik terhadap keluarganya."
Sedang
aku? Ah, kenapa pula aku lupa bahwa Allah menyuruh para suami agar
menggauli isterinya dengan baik. Sedang aku terlalu sering ngomel dan
menuntut isteri dengan sesuatu yang ia tak dapat melakukannya. Aku
benar-benar merasa menjadi suami terzalim!
"Maryam...!"
panggilku, ketika tubuh berabaya gelap itu melintas. Tubuh itu lantas
berbalik ke arahku, pandangan matanya menunjukkan ketidakpercayaan atas
kehadiranku di tempat ini. Namun, kemudian terlihat perlahan bibirnya
mengembangkan senyum. Senyum bahagia.
"Abi...!" bisiknya pelan dan girang. Sungguh, baru kali ini aku melihat isteriku segirang ini.
"Ah, betapa manisnya wajah istriku ketika sedang kegirangan… kenapa tidak dari dulu kulakukan menjemput isteri?" sesal hatiku.
******
Esoknya
aku membeli sepasang sepatu untuk isteriku. Ketika tahu hal itu, senyum
bahagia kembali mengembang dari bibirnya. "Alhamdulillah,
jazakallahu...," ucapnya dengan suara mendalam dan penuh ketulusan.
Ah,
Maryamku, lagi-lagi hatiku terenyuh melihat polahmu. Lagi-lagi sesal
menyerbu hatiku. Kenapa baru sekarang aku bisa bersyukur memperoleh
isteri zuhud (**) dan 'iffah (***) sepertimu? Kenapa baru sekarang pula
kutahu betapa nikmatnya menyaksikan matamu yang berbinar-binar karena
perhatianku?
(Oleh : Yulia Abdullah)
Bagi Sobat yang ingin Mengirimkan Kisah Pengalaman,Artikel ,Dan Apa aja slama itu bermanfaat,silahkan layangkian kesini >> >Kirim Tulisan
Keterangan
(*) mujahidah : wanita yang sedang berjihad
(**) zuhud : membatasi kebutuhan hidup secukupnya walau mampu lebih dari itu
(***) ‘iffah : mampu menahan diri dari rasa malu
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Terimakasih Sudah Berkunjung
Dan Alangkah senangnya bila Sobat Pembaca Berkenan Meninggalkan Komentarnya disini :)
#Komentar Bijak Menjadi Motivasi
# Komentar Lucu Menjadi Senyuman
#Komentar Santun Menjadi Kenangan
Mohon tidak memberi Komentar Spam dan sejenisnya yaaa :)
SILAHKAN BERKOMENTAR :)